Samarinda, Kalimantan Timur Lintaskaltim.id — Peristiwa memilukan mengguncang warga Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda. Pada Jumat sore (25/7/2025), suasana damai kawasan Jalan Rimbawan I, Gang Bahri, berubah menjadi tragedi setelah seorang ayah kandung berinisial W (33) melakukan tindakan di luar batas nalar kemanusiaan — menghabisi nyawa dua anak balita kandungnya yang baru berusia 2 dan 4 tahun.
Peristiwa keji ini terjadi sekitar pukul 16.00 WITA di dalam rumah mereka sendiri. Kedua anak malang tersebut ditemukan tak bernyawa dalam posisi berdampingan di atas ranjang, dengan tubuh kecil mereka tertutup selembar kain berwarna kuning. Tidak ada tanda-tanda perampokan, tidak ada pelaku asing — semua mengarah pada satu kenyataan pahit: sang ayah adalah pelaku tunggal pembunuhan ini.
Kepolisian Resor Kota Samarinda yang dipimpin oleh Kombes Pol Hendri Umar segera melakukan penyelidikan intensif. Dalam konferensi pers yang digelar Selasa (29/7/2025), Hendri mengungkapkan hasil awal pemeriksaan dan pengakuan mengejutkan dari pelaku.
“Pelaku mengakui melakukan pembunuhan dengan kesadaran penuh. Anak pertama dicekik menggunakan tangan selama kurang lebih lima menit. Setelah korban tak bergerak, pelaku memastikan kematian dengan melilit leher korban menggunakan kain sarung. Prosedur yang sama dilakukan terhadap anak keduanya,” ujar Hendri.
Setelah membunuh, pelaku menyusun tubuh kedua anaknya secara berdampingan, lalu menutupi mereka dengan kain kuning dan duduk termenung di dekat jasad buah hatinya. Ia bahkan sempat berniat untuk bunuh diri dengan gantung diri, namun niat itu tidak terlaksana.
Sekitar satu jam kemudian, nenek dari korban datang berkunjung untuk melihat cucunya. Ketika masuk ke dalam rumah, ia dibuat terkejut oleh pemandangan mengerikan. Sebelum sempat berteriak, pelaku mencoba membungkam sang nenek dengan mencekik. Beruntung, pelaku melepaskan cekikannya dan nenek berhasil kabur lalu melaporkan kejadian tersebut ke warga sekitar. Tak lama kemudian, pihak kepolisian tiba di lokasi dan segera mengamankan pelaku.
enduga ada faktor psikologis yang mendorong pelaku melakukan aksi tersebut. Berdasarkan keterangan dari tetangga dan pihak keluarga, sejak beberapa bulan terakhir — tepatnya Mei 2025 — W menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan: ia menjadi sangat pendiam, menarik diri dari lingkungan, dan tampak murung hampir setiap hari.
“Kami sedang berkoordinasi dengan rumah sakit jiwa dan tim psikiater untuk mengevaluasi kondisi kejiwaan pelaku. Pemeriksaan medis ini penting untuk mengetahui apakah pelaku mengalami depresi berat, psikosis, atau gangguan mental lainnya yang memengaruhi tindakannya,” jelas Hendri Umar.
Namun demikian, dari hasil penyelidikan awal, polisi menilai bahwa unsur kesengajaan dalam pembunuhan ini cukup kuat. Pelaku melakukannya secara sistematis, tidak dalam kondisi panik atau terdesak.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, junto Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, serta Pasal 76C junto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Ancaman hukuman yang menanti tersangka adalah penjara seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara untuk pembunuhan berencana. Ditambah lagi 15 tahun penjara karena melakukan kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan kematian,” tambah Kapolresta.
Kepolisian menegaskan bahwa meskipun pelaku diperiksa secara kejiwaan, proses hukum tetap berjalan sesuai dengan prosedur. Jika terbukti mengalami gangguan mental berat, proses peradilan tetap akan mempertimbangkan aspek medis melalui sidang psikologi forensik.
Peristiwa tragis ini meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga korban, tapi juga bagi warga sekitar. Banyak yang tak percaya bahwa W, sosok yang dikenal sebagai pribadi tenang dan jarang membuat masalah, dapat melakukan hal keji terhadap darah dagingnya sendiri.
“Tidak pernah kami sangka, anak-anak itu sangat lucu dan sering bermain di depan rumah. Bapaknya kelihatan normal saja, tapi memang belakangan dia seperti murung terus,” ujar salah satu tetangga sambil menahan tangis.
Pihak kelurahan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda juga telah turun tangan untuk memberikan dukungan psikologis kepada keluarga dan tetangga yang terdampak. Trauma mendalam tentu akan membekas, terutama bagi sang nenek yang menjadi saksi hidup dari tragedi ini.
Tragedi ini kembali menyadarkan kita semua bahwa persoalan kesehatan mental dalam keluarga tidak bisa diabaikan. Gejala depresi, stres berat, dan isolasi sosial yang tak tertangani bisa berubah menjadi ancaman nyata bagi keselamatan anggota keluarga, terutama anak-anak yang rentan.
Pemerintah daerah diharapkan lebih aktif menyediakan akses layanan konseling dan kesehatan jiwa di tingkat kelurahan dan RT. Masyarakat pun diimbau untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, saling memperhatikan, dan tidak menutup mata terhadap tanda-tanda gangguan mental pada tetangga atau kerabat.
Sebuah tragedi yang seharusnya tak pernah terjadi — menjadi pelajaran pahit bagi semua pihak agar tidak lagi menunda perhatian terhadap kondisi psikologis di dalam rumah.
kontributor : ( im)
Leave a Reply